Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Minggu, Mei 10, 2015

Talla' Ka’

Perceraian

PERASAAN itu masih ada, kata-katanya masih terniang dalam gendang telinga Ani, kata-kata suaminya. Kini ia berada di pembaringan, mencoba menahan rasa sakit itu, rasa sakit yang telah menjadi saksi atas perjalanannya. Takkan pernah dia melupakan semua yang telah di perbuat suaminya. Ada yang sangat ingin Ani katakan padanya, “Talla Ka’.” Dia sudah lelah menghadapi kehidupan seperti ini bersamanya.
Suara mobil terdengar serak memarkirkan diri di depan rumah, suara mobil yang sudah tak asing lagi bagi Ani. Yah, itulah  suaminya, baru saja pulang entah dari mana. Dia sering keluar rumah dan pulang malam, bahkan handphone suaminya sangat jarang di pegang Ani.

Sesaat terdengar suara pintu yang di ketuk, dia sudah menyadari hal itu, namun, dia merasa lelah, dia tidak sanggup membuka pintu itu, yang dilihatnya hanya akan pemandangan yang sama dengan yang kemarin-kemarin. Rasanya ia ingin mengatakan pada suaminya.
“Sebaiknya kamu di situ saja, kamu tidak perlu masuk” sambil mengunci pintu rapat-rapat. “Kamu pergi saja, biarlah mobil yang telah susah payah orang tuaku beli demi kamu, biarlah kamu bawa, ambillah, tapi kamu jangan pernah kembali.”
Tetapi entah mengapa, sungguh mustahil baginya untuk mengatakan hal itu pada suaminya. Apakah na doti ka suamiku, batinnya berujar.
Ani berdiri menghampiri pintu. Penampilannya sangat lusuh, daster yang ia gunakan kusut, rambutnya tampak seperti tidak pernah di keramas. Tubuhnya kurus, sangat pedih.
“Kamu dari mana?” seraya membuka pintu. Di depannya telah berdiri seorang laki-laki, yah itu benar. Penampilannya begitu rapi dan necis, tapi Ani tidak peduli dengan hal itu.
“Sebaiknya kamu tidak perlu tahu.” Tatapannya langsung berubah, nada suaranya berganti. “Kuharap semuanya baik-baik saja jika kamu tidak tau.” Dia langsung saja masuk, langsung menuju kamarnya.
Sudah lama Ani dan suaminya pisah kamar, dia tak ingin selalu bersamanya.
“Kau seharusnya tahu, jam berapa sekarang, kau seharusnya pulang lebih awal. Aku tidak suka kau selalu begini, aku lebih memilih semua ini berakhir. Aku benci kau, aku...” kata-katanya terpotong.
“Aku sudah sering mendengar perkataan itu, aku bosan mendengar semua itu. Sudahlah.” Nada suaranya meninggi.
Ani kini kembali ke pembaringannya. Masih dengan perasaan yang sama seperti hari-hari kemarin. Haruskah aku menderita seperti ini terus, batinnya berucap.

* * *

Malam yang pekat kini berubah menjadi binar cahaya. Cahaya itu menyusup melalui jendela. Cahaya kuning keemasan yang hangat dan indah. Si jantan menyapa dengan semangat, seolah tak mengerti apa yang dirasakan Ani.
Kegiatan orang-orang di kompleks rumah itu mulai ramai, pedagang, ojek, anak-anak turut meramaikan. Jangan pernah berharap.
Teringat kenangan itu, bagaimana Ani bisa jadi begini. Bagaimana semua ini terjadi.
Kala itu akhir tahun, dia datang di rumah Ani secara tiba-tiba, entah tanpa alasan atau secara tidak sengaja. Dia sedang dalam masalah, para penagih hutang sedang mencarinya, terlebih lagi setelah dia buron, dia telah membunuh seseorang. Dia kesini hanya untuk sembunyi, sembunyi dari mereka.
Entah mengapa Ani bisa menerimanya, entah mengapa semuanya terasa baik-baik saja. Tak ada masalah, tak ada rasa curiga. Apakah semuanya akan baik-baik saja. Hingga akhirnya mereka menikah. Terikat janji bersama.
Ani tersadar, dia terbangun oleh sesuatu. Ambisi itu semakin memaksa. Aku harus mengatakannya, batinnya berucap.
Dia melangkah perlahan sambil menjinjing ambisinya, melangkah menuju ruangan itu. Pelan namun pasti.
“tok-tok-tok.” Begitu keras ketukannya.
“Ada apa? Apa yang kau inginkan?”
“Kita harus bicara!” seraya menarik tangan suaminya itu, di genggam sangat keras. “Aku ingin mengakhiri semua ini, kita harus pisah.”
“Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti.”
“Talla Ka’”
“Aku tidak bisa.”
“Kalau begitu tinggalkan aku, pergi dari sini sekarang.” Melayang. ‘Plak-pluk’ Dua tamparan itu, sekaligus.
Ani melangkah meninggalkannya, mendekati sebuah tas koper Polo yang terletak di atas meja kamarnya. Dengan wajah memelas seraya membawa tas itu keluar.
“Tas ini berisi semua pakaianmu, pergilah.” Dia turun, tertunduk, bersujud dihadapannya. “Tapi sebelum engaku pergi, ku mohon, Talla Ka’ ”
“...” terdiam membisu.
“Kumohon, ini permintaan terakhirku padamu.” Benih itu muncul, begitu bening namun pedih. Dia menjalar meninggalkan bekas dijalannya, hingga akhirnya dia terjatuh. Namun dia tetap tenggelam dalam diam. Tak satu huruf pun keluar dari bibir yang kering itu, hanya bergetar tanpa alasan.
Sungguh penyesalan tak terbendung. Kaki itu melangkah keluar seraya deruan suara roda koper, dihadapan sembah sujudnya. “Jangannn, jangan pergi!” tangan berusaha meraih, terlambat. Wajah pria itu tak sedikitpun berbalik, terburu-buru membuka pintu, berusaha keluar.
Dia berdiri dari sujudnya, berusaha bangkit untuk mengejar. Pintu gerbang menjadi saksi pembatas.
“Kumohon jangan pergi dulu!” tangisannya semakin pedih, tak ada yang bisa menahannya lagi.
Namun Ani hanya bisa tercengang saat sebuah taksi berhenti tepat dihadapan laki-laki itu. Tiada harapan lagi dalam mata wanita itu, semuanya telah hancur, tak mungkin bisa disatukan lagi yang telah terpisah. Pintu harapan itu telah tertutup, mesin penyayat itu semakin menderu-deru. Namun diam itu akhirnya bersuara.
“A... a... aku...” suara itu membuat Ani semakin tercengan namun tetesan itu tak juga berhenti. Mulut pria itu mulai terbuka, namun dengan wajah yang tampak sangat terpaksa, akhirnya diam kini terisi. “Malam ini juga, aku bukan lagi suamimu!” seraya menutup kaca mobil “Selamat tinggal”
Roda itu berputar, sangat cepat. Terbesit tanya dalam hati, mengapa dia tidak membawa mobil itu? Batinnya bertanya entah siapa yang akan menjawab.
Deruan itu lama-kelamaan menghilang, tenggelam ditelan gelapnya malam. Lampu belakang yang berwarna merah tampak menghilang setelah melalui sebuah belokan.

Sabtu, Mei 09, 2015

Piring Kayu untuk Kakek

Lonely Grandpa

Berikut adalah kisah kakek tua/orang tua yang menyedihkan dengan keadaan nya yang sudah tua dan tak mampu lagi untuk menjadi seperti halnya kita yang bisa mengerjakan sesuatunya dengan sendiri. Mungkin cerita ini telah lama meskipun dengan kata-kata yang berbeda saya akan coba bagikan ke sahabat motivasi untuk di jadikan motivasi dan bahan renungan bagi kita.

Suatu hari seorang kakek tua yang tinggal bersama anak, menantu, dan seorang cucu laki-lakinya. Penglihatan si kakek sudah tidak begitu jelas lagi. Dan Ia sudah tidak dapat mendengar dengan baik. Juga lututnya sudah mulai bergetar. Terkadang jika ia duduk di meja makan, ia tidak dapat lagi memegang sendok dengan erat. Dan tanpa sengaja seringkali Ia menumpahkan makanan di atas meja makan, Bahkan makanan yang keluar dari mulutnya. Melihat hal itu anak dan menantunya merasa jijik saat makan bersamanya. Oleh sebab itu mereka memutuskan untuk tidak memperbolehkan kakek tersebut untuk makan bersama mereka. Mereka menempatkan sang kakek ditempat khusus, makan hanya dengan mangkuk yang kecil. Ia sering tidak mendapat makan dan minum yang cukup dan tentu saja ia tetap lapar dan haus. Terkadang sesekali ia mencoba melihat-lihat makanan yang ada di meja makan mencoba untuk hilangkan laparnya. Suatu ketika disaat jemarinya yang sudah tua tidak dapat lagi memegang mangkuk. Mangkuk itu jatuh dan pecah. Menantu perempuannya mencaci-makinya habis-habisan. Tapi, kakek tua itu hanya bisa diam dan pasrah. Ia membiarkan semuanya terjadi. Lalu Menantunya tidak ingin lagi ada mangkuk yang pecah di rumahnya maka ia membelikan sebuah piring yang terbuat dari kayu dengan harga yang tidak terlalu mahal. Kini dengan piring kayu itu kakek tua itu harus makan. Dengan begitu Ia lebih tenang karena sangat mustahil untuk pecah di buat si kakek.

Suatu hari anaknya yang masih berumur 5 tahun sedang belajar menggambar dan hasilnya seperti sebuah piring. "Apa yang sedang kamu buat, Nak ?" tanya ayahnya. "Saya sedang membuat sebuah piring kayu ," jawab anaknya polos, "dengan piring ini ayah dan ibu akan makan, jika nanti saya sudah besar."

Ayah dan ibunya saling bertatapan teringat perlakuan mereka yang selama ini memberikan makan orang tuanya dengan piring kayu. Mereka mulai membayangkan hal tersebut terjadi kepada mereka. Tanpa sengaja sang ibu menangis dan langsung memeluk anaknya. Sejak kejadian itu mereka selalu memapah sang kakek ke meja makan, untuk makan bersama. Jika ia lapar atau haus, mereka segera membawakan makanan dan minuman untuknya. Mereka tidak lagi mempersalahkan perlakuan sang kakek, meski harus selalu membersihkan sisa makan sang kakek yang selalu tumpah di meja makan.

Semoga cerita ini bisa menjadi pengingat bagi kita yang masih muda, bahwa kita juga akan menjadi seperti mereka yang sudah tua yang selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Bahkan bisa jadi nantinya kita akan lebih menyusahkan anak-anak kita. Jadi tanamkan sifat kesabaran dan keikhlasan menerima semuanya , saling mengerti dan menyadari keadaan orang tua kita, agar nantinya anak-anak kita dapat memperlakukan kita dengan baik(Sekecil apapun hal yang kita lakukan hari ini akan berdampak di kemudian hari).

Kamis, Mei 07, 2015

Cerpen, Pembukaan


Malam itu sekitar pukul 21.00, cahaya lampu masih menerangi seluruh ruangan kamarku, hening, suara detak dari jam terdengar sangat bising. Jari-jariku sudah daritadi disibukkan beradu dengan keyboard komputer. Setiap hari jika tidak ada kerjaan, inilah kegiatanku, bersosialisasi dengan orang-orang di dunia maya.
Sejenak aku berbaring diatas ranjang yang sudah daritadi tampak menungguku, kupandangi dengan lamat langi-langit kamarku, pikiranku melayang entah kemana seperti sebuah layang-layang yang putus.
“Trriiiingggg...” suara itu terdengar nyaring memecah khayalanku.
Layar komputer menunjukkan bahwa aku mendapatkan sebuah pesan instan di jejaring sosial, sebuah pesan dari seorang yang bernama Alfian Demaratina, aku tidak mengenalnya, aku bahkan baru pertama kali menemukannya di dunia maya.
“Hay, makasih yah konfirmasi nya.” Isi pesan yang ia kirimkan, tampak umum bagi orang yang hendak memulai percakapan.
“Iya, sama-sama.” Jawabku singkat.
“Kamu sekolah dimana?” Katanya lagi, kupikir ia tidak akan menjawab pesanku tadi.
“SMA 1, kalau kamu sendiri?”
“Haha.. Sama dong, kita sekolah disekolah yang sama.” Percakapan kami terus berlanjut, ia tampak ramah dan pembicaraan kami mulai lebih santai ibarat orang yang sudah saling kenal, namun  aku bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya. Detakan jam dinding masih setia menemaniku meskipun aku tidak pernah memperhatikannya atau bahkan meliriknya pun tidak sama sekali hingga aku tidak menyadari peringatan darinya bahwa waktu berlalu lebih cepat dari yang kusadari. Malam semakin pekat, mataku mulai terasa berat, aku memutuskan untuk mengakhiri percakapanku dengan orang yang bernama Alfian Demaratina tadi.
Suatu hari, dengan pesan broadcast di Blackberry Messanger aku dengan mudah melakukan promosi penjualan souvenir pin, dengan cepat beberapa orang menanggapinya, alhasil beberapa sudah resmi terjual. Namun aku terkejut ketika orang yang beberapa hari lalu menemaniku chating di jejaring sosial itu muncul lagi dan berniat membeli pin yang kujual.
Menurut beberapa orang, pembeli adalah raja, entah siapa yang menyatakan teori tersebut, tapi itulah yang kulakukan. Dengan rasa penasaran ingin melihat sosok Alfian Demaratina itu aku mengantarkan pin pesanannya ke alamat rumah yang ia katakan, itu membuatku tampak seperti seorang Delivery Service.
Seorang laki-laki seusia anak kelas XI berjalan keluar dari rumah yang disebutkan oleh si Alfian itu, berjalan menghampiriku dengan wajah yang agak canggung yang membuat tingkahnya serasi, serasi sebagai orang yang salah tingkah. Namun hal itu bukan hanya terjadi padanya, aku juga mengalaminya, yang entah kenapa, bagaimana, dan mengapa aku bisa seperti ini.
“Terima kasih sudah mau mengantarkannya.” Sambil tersenyum ia mulai menyapaku.
“Iya, sama-sama.” Jawabku dengan sangat singkat meskipun sebenarnya aku ingin bicara lebih banyak, namun entah kenapa ketika kata-kataku sudah sampai di tenggoroka semua kata-kata itu hilang entah kenapa. Yah Tuhan...
Beberapa hari setelah bertemu dengannya kami mulai lebih akrab dari sebelumnya, hari-hari berlalu tanpa ada satupun yang terlewatkan untuk saling menyapa. Menurutku hal itu wajar saja, toh tidak ada yang menonjol dari kami, namun tidak dengan apa yang dipikirkan pacarku, Arsha Feryaputra, ia beranggapan bahwa aku selingkuh. Sungguh tak pernah kusangka ia akan berpikiran seperti itu, aku terus berusaha menjelaskan padanya, berkali-kali hingga akhirnya ia bisa luluh dan percaya bahwa aku dan Alfian tidak ada hubungan apa-apa.
Bulan demi bulan terus berlalu, banyak yang berubah sekarang, Arsha kini sudah mulai memasuki jenjang pendidikan di perguruan tinggi, kini aku dan Arsha harus menjalin hubungan jarak jauh dengannya. Sedangkan aku dan Alfian, kami semakin dekat. Saat ini dimataku dia bukan hanya sosok laki-laki yang baik, melainkan lebih dari baik.
Tanpa perjanjian bahkan persetujuan, aku dan dia kini menjadi kakak dan adik. Meskipun kami berdua sama-sama anak tunggal namun hal itu akan membuatku bisa merasakan bagaimana memiliki seorang kakak. Namun karena seringnya kami bertemu, hunganku dengan Arsha tidak seperti hubunganku dengan Alfian, isu dan gosip silih berganti ke telinganya.
“Kamu punya hubungan apa dengan dia?” Ucap Arsha melalui telepon.
“Dia? Maksudmu Alfian?”
“Iya, apa hubungan kalian? Apakah kalian sudah jadian?” Nada suaranya meninggi.
“Dia hanya ku anggap sebagai kakakku.”
“Alasaan...” Dia mulai membentak.
“Ya sudah, kalau kamu tidak percaya.” Jawaban pasrah kulontarkan, aku sudah tidak sanggup meyakinkannya.
Aku kemudian menjelaskan bagaimana jika Alfian menjauhiku agar Arsha dapat percaya. Meskipun dalam hatiku ini adalah tindakan yang salah. Sedikit ekspresi kecewa tampak dari raut wajah Alfian, mau-tidak-mau ia harus menerimanya.
Hari ini, dua hari setelah Alfian tidak pernah lagi muncul dalam hidupku. Sekolah kini berbeda dari kemarin-kemarin, semuanya terasa hampa, meskipun disisi lain Arsha dan aku mulai membaik. Alfian kini tampak dekat dengan orang lain, entah, aku tidak mengenalnya. Kini aku berpikir, mungkin aku tidak ada artinya lagi bagi Alfian. Tak ada yang tau apa yang akan terjadi setelahnya, semua rencana Tuhan. Setelah beberapa masalah yang kulalui kini aku dan Arsha kembali seperti sedia kala, meskipun tidak seutuhnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan jarak jauh bukan hal yang indah. Aku teringat dulu ketika Alfian selalu memberiku dorongan untuk tetap setia pada Arsha dalam menjalani hubungan jarak jauh ini, dia selalu menyemangatiku, namun kini semua berbeda.
Suatu hari ketika jam istirahat, seorang temanku menghapiri dengan tergesa-gesa, menurutku ada hal buruk yang ingin ia sampaikan, namun dari raut wajahnya sepertinya ini memang hal buruk.
“Dijha, apa kamu masih pacaran dengan Arsha?” Ucapnya dengan nafas tersegal-segal.
“Hmm.. Iya, memangnya ada apa? Apa kamu menerima undangan pernikahan darinya?” Aku menjawab dengan sedikit candaan.
“Bukan saatnya bercanda, tapi mungkin ini hampir sama dengan yang kamu katakan, lihat ini.” Sambil menyodorkan layar ponselnya kedepan wajahku. Dengan sangat terkejut, aku terdiam, aku resmi mematung. Tampak Arsha sedang bertukar foto profilnya di jejaring sosial dengan seorang gadis.
Bagi orang pada umumnya, ketika menghadapi keadaan seperti ini hal yang akan dirasakan selalu sama, persaan cemburu dan yakin bahwa ia telah diduakan. Aku telah memutuskan hubunganku dengannya, tidak ada lagi hubungan apa-apa antara Hadijah Syamsul dengan Arsha Feryaputra. Meskipun ia terus memohon untuk kembali, namun hal itu tak pernah lagi ku hiraukan.
Sepertinya hal tersebut diketahui Alfian, ia muncul kembali dalam hidupku, mencoba menenangkan perasaanku dan meyakinkanku tentang keputusan yang telah kuambil. Namun aku sudah yakin, terlalu yakin untuk bisa meliriknya kembali.
Dua bulan setelah aku dan Arsha putus, hidupku sudah kembali normal, dia sudah tidak ada lagi di benakku, aku dan Alfian pun kini semakin akrab lagi, bahkan jauh lebih akrab. Tapi ada satu hal yang aneh kurasakan, sesuatu menggejolak serasa ingin keluar dari tubuhku, sesuatu yang menggebu-gebu, sesuatu yang sangat besar. Orang yang selama ini ku kagumi, yang dari dulu selalu memberiku dorongan dan nasehat kini aku merasakan hal yang aneh terhadapnya, aku menyukainya. Tapi disisi lain aku terus bertanya, apakah ia juga merasakan hal yang sama!?
Seperti biasanya, disekolah, tepatnya didepan kelas ia menghampiriku, aku duduk, berbicara empat mata dengan Alfian.
“Dijha?” Nada suaranya berubah.
“Iya. Ada apa?”
“Aku tau kamu berharap lebih dari kakak denganku.”
“Maksudnya?” Tanyaku dengan muka heran.
“Kamu pasti berharap kita lebih dari saudara, tanpa kamu sadari aku juga pernah berharap seperti itu dulu, sewaktu kamu dan Arsha masih pacaran, bahkan aku terus berharap, dan kini kamu juga, tapi maaf, sebaiknya kamu tidak usah berharap lagi padaku..” Ungkapnya. “Maaf..” Kemudian ia pergi tanpa ada kata lagi. Meninggalkanku yang terdiam sendiri mencoba menahan rasa sakit yang menusuk setelah mendengar kata-kata itu. Sungguh tak pernah kusangka ia mengatakan hal itu padaku. Ya Tuhan...
Selang beberapa hari setelah terakhir aku dan Alfian bertemu, hal yang lebih buruk terjadi, di jejaring sosial tampak Alfian sudah memiliki pacar, ia adalah temanku sendiri, teman yang hampir sangat dekat denganku dalam organisasi sekolah. Tak pernah kusangka ia akan melakukan ini, tak pernah kusangka.
Saat itu aku terpikir, mungkin ini yang pernah Alfian rasakan ketika aku masih pacaran dengan Arsha, bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan ketika aku bercerita tentang Arsha pada Alfian, aku tak pernah menyadari perasaannya, hingga kini aku harus merasakan perasaannya dulu. Kini aku hanya bisa berdoa, semoga Alfian bisa bahagia dengan pacarnya, semoga dia bisa terus bertahan dengan pacarnya itu.
Kini ketika aku melihatnya, ia bukan Alfian yang kukenal lagi, seolah-olah Alfian telah meninggalkan sekolah itu, semuanya kembali terasa hampa, hanya perasaan sakit yang kurasakan. Bahkan ketika aku mencoba bertanya kabarnya, jawabannya tak seramah dulu, kini ia seperti orang yang tak pernah mengenalku. Ketika aku berpapasan dengannya disekolah, tak pernah sekalipun ia menatapku dengan ramah, sangat dingin. Aku terus-menerus bertanya, mengapa ia tiba-tiba melakukan hal ini? Aku bahkan tak pernah mencoba menyakitinya atau membuatnya sedih.
Sungguh kejadian seperti ini tidak pernah terpikir olehku akan terjadi, sudah hampir sebulan dia mengacuhkanku, aku mulai bertanya, masihkah aku harus berharap sampai detik ini? Mungkin tidak. Tetapi aku bersyukur, selama ini ada seseorang yang selalu mendukungku untuk tidak pernah berhenti berharap, orang yang kuanggap sahabat meyakinkanku bahwa ini bukanlah akhir.
Sore hari tanggal 27 November, untuk yang pertama kalinya setelah beberapa bulan, aku menerima pesan singkat dari Alfian, hal itu membuatku merasa gelisah, senang, dan khawatir menjadi satu ibarat sebuah gado-gado. Kini ia mencoba menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dibelakang semua hal yang tidak aku ketahui. Dan inilah jawaban yang selama ini aku cari-cari.
Ia menjauh bukan karena ia membenciku.
“Maaf, sebenarnya aku bukannya tanpa alasan melakukan ini, disisi lain aku ingin melihat sebagaimana perasaanmu padaku, disisi satunya lagi aku terjebak dan dia terlanjur berharap padaku, aku takut dikatakan sebagai orang yang memberi harapan palsu pada orang lain. Maaf jika kamu yang sepertinya menerima harapan palsu itu, tapi aku tau kamu tidak seperti orang yang pada umumnya.” Ungkapnya menjelaskan semua yang ia lakukan.
“Tapi ini bukan tindakan yang baik menurutku, apakah tidak ada cara lain?”
“Dipikiranku hanya ini yang bisa kulakukan.”
“Terserah deh..” Jawabku pasrah dan sangat dingin, tapi sejujurnya aku memang masih berharap padanya dan aku sangat menyayanginya.
Kini semuanya berubah secara drastis dan sangat cepat, kini aku dan Alfian kembali seperti dulu, sekarang ia tampak sangat ceria dibandikan kemarin-kemarin, setiap kali ada kesempatan ia selalu mencoba melihatku tanpa kusadari. Setiap kali aku melihatnya selalu tampak senyum manis darinya, aku sangat bahagia dengan hal itu.
Suatu hari aku kembali merasakan hal yang berbeda, kami kembali berbicara 4 mata, aku merasa takut apakah hal yang dulu akan terulang kembali. Namun kali ini benar-benar berbeda, kata yang sudah lama kunanti darinya kini kudengar.
Siang itu, disekolah, tepatnya tanggal 19 Desember 2013, ia mengungkapkan niatnya padaku, ia memohon untuk menjadikannya pacarku, tetapi bagiku, aku tidak mungkin bisa.. aku tidak mungkin bisa menolak orang yang sudah lama kunantikan untuk mengisi ruang kosong yang sudah lama kusiapkan untuknya. Kami resmi pacaran.
Kusadari semua rintangan yang telah aku dan dia lalui bukannya tanpa arti, semua itu membuat kami menyadari apa arti kami saling menyatukan perasaan, apa arti kami saling menyayangi, itu akan membuat kami lebih dewasa dan terbuka satu sama lain.
Perjuangan yang kami lakukan tidak ada yang sia-sia, semua harapan dan doa kini mulai terjabah.
Dibalik semua hal-hal sulit yang kita lalui, kita akan mendapatkan hal luar biasa yang tak pernah diduga sebelumnya. Tuhan akan memberikan apa yang kamu usahakan.